“Generasi Biru” yang Paradoks

Sebuah film musikal berjudul, Generasi Biru, hadir di tengah hiruk-pikuk persiapan Pemilu Legislatif 2009. Film arahan tiga sutradara, Garin Nugroho, John De Rantau, dan Dosy Omar, itu, bertutur tentang Indonesia dan keindonesiaan, dengan latar belakang perjalanan satu grup musik beraliran rock n roll, Slank. Film berdurasi 84 menit itu hendak mengisahkan perjalanan kaum muda yang memegang komitmen peace, love, unity, dan respect, yang kemudian oleh penggemar musik Slank yang disebut Slankers sering disingkat dengan PLUR.

Sebagai film musikal, Generasi Biru menyodorkan gaya bertutur yang unik. Garin Nugroho sebagai pencetus ide dalam film ini, menggabungkan berbagai elemen visual seperti dokumenter, animasi, dan tari, yang menjadikannya dinamis dan sarat dengan simbol kritik.

Slank merintis karier musiknya sejak 1984. Dari awal berkiprah dalam belantika musik Indonesia, mereka konsisten mengusung aliran rock n roll. Lirik-lirik lagu Slank sangat sarat dengan kegelisahan dan dapat dikatakan mewakili kegalauan kaum muda yang melihat dan merasakan realitas sebuah negeri yang semakin hari semakin jauh dari ideal, sebuah negeri yang dalam perjalanannya penuh hipokrasi dan tidak memberikan tempat bagi nilai-nilai pembebasan.

Lirik-lirik lagu itu dapat menjadi representasi dari perjalanan demokratisasi di Indonesia, dari era kekuasaan Orde Baru, Soeharto, yang penuh dengan kekerasan politik hingga era Reformasi sekarang ini, ketika seluruh elemen bangsa menghadapi transisi demokrasi yang diwarnai kegagapan dalam praktik demokrasi.

Lirik lagu Generasi Biru dapat menunjukkan sebuah gambaran keadaan Indonesia yang mampet di segala lini kehidupan, suatu keadaan yang oleh kalangan muda menjadi bahan olok-olok.

Film Generasi Biru sendiri merekam beberapa momentum yang menunjukkan kecintaan kaum muda kepada Slank. Grup band ini menjadi ikon populer yang tak terbantahkan. Di Jawa, seperti Yogyakarta atau Solo, anak muda berbondong-bondong datang ke konser pertunjukan Slank. Bahkan yang unik, rekaman Dosy Omar, sebagai pengisi elemen dokumenter dalam film ini, menunjukkan konser Slank di Timor Leste. Negara muda yang melepaskan diri dari Indonesia pada 1999 itu menggelar konser Slank di Dili.

Ribuan anak muda Timor Leste menghadiri konser, bendera Merah Putih berkibar bersanding dengan bendera Timor Leste. Visualisasi realitas itu membawa pernyataan yang kontras dari realitas pada masa lalu. Kecintaan kaum muda Timor Leste terhadap lagu-lagu Slank melunturkan kekhawatiran Pemerintah Timor Leste, yang sempat mengkhawatirkan terjadinya kerusuhan yang dapat disebabkan oleh konser sebuah grup band asal Jakarta.

Bersandingnya kibaran Merah Putih dan bendera Timor Leste tentunya memberikan gambaran bahwa musik yang diusung Slank dan kredo PLUR dapat mencairkan persoalan-persoalan politis yang selama ini menghantui hubungan kedua negara. PLUR membawa realitas baru akan kejenuhan universal terhadap konflik dan peperangan. Tentunya ini menjadi pelajaran yang berharga bagi segenap penentu kebijakan di negara ini untuk melihat dan memperhatikan aspirasi masyarakat bawah.

Lagu Lain

Selain Generasi Biru, ada beberapa lagu yang menjadi pengisi soundtrack film ini. Lagu-lagu itu antara lain Slank Dance, Monogami, Bang-bang Tut, Gosip Jalanan, Terbunuh Sepi, Pulau Biru, Loe Harus Grak, Missing Person, Utopia, Indonesiakan Una, Mars Slankers, Cekal, dan Koepoe Liarku.

Pemilihan lagu-lagu tersebut tentunya memiliki alasan historis, selain kepaduan dengan struktur film. Struktur film ini menjadi sangat kuat sebagai sebuah konstruksi gugatan terhadap realitas Indonesia kekinian.

Ada nilai-nilai universal yang disampaikan Slank melalui musik. PLUR adalah kredo dan pilihan ideologi baru bagi suatu generasi yang lahir, sebuah generasi yang menamakan dirinya generasi biru, yang memiliki sifat seperti setinggi langit biru dan sedalam lautan biru. Sebuah generasi yang mencita-citakan keterbukaan, yang dapat menghadapi dan menerima segala keanekaragaman.

Tentunya kebinekaan yang diterjemahkan secara baru, bukan kebinekaan yang selama 32 tahun kekuasaan Soeharto sering diterjemahkan sebagai doktrin politik. Generasi yang dengan lapang dada dapat belajar dari berbagai perubahan di negara bernama Indonesia. Lapang dada untuk dapat belajar dari kritik dan dapat keluar dari kelamnya dunia.

Ruang Dramatik

Ada tiga konstruksi ruang dalam film Generasi Biru. Konstruksi pertama adalah perkampungan urban, konstruksi kedua adalah ruang penjara, dan konstruksi yang ketiga berupa rumah sakit. Tiga konstruksi yang boleh jadi menyuguhkan pemandangan yang satir terhadap kenyataan yang dihadapi Indonesia.

Perkampungan urban merepresentasikan Indonesia yang bergerak ke arah modernitas. Pergelaran pembangunan Indonesia modern oleh Orde Baru melahirkan perkampungan sumpek di kota-kota besar. Ruang perkampungan urban merupakan gambaran ketidakadilan sebagai ekses pembangunan yang tambal-sulam. Segala bentuk persoalan sosial terjadi di ruang ini: pengangguran, putus sekolah, kriminalitas, dan kehilangan akar tradisi desa. Pada intinya ruang perkampungan urban ini hendak melukiskan kelamnya kota besar berikut problem tanpa solusi.

Ruang penjara menggambarkan sejarah politik Orde Baru yang kelam. Kekerasan dengan pendekatan militer terhadap rakyat, pemasungan hak sipil untuk bicara dan berapresiasi, penculikan aktivis prodemokrasi, penghilangan orang-orang yang bicara kritis, serta pembunuhan dan penghukuman tanpa pengadilan. Rumah sakit menjadi gambaran kelam dari sebuah generasi yang memberontak dari kejenuhan problem komunal. Anak-anak muda Indonesia dibelenggu kebebasan ekspresinya, sedangkan narkotika dan obat-obat terlarang menjadi sangat mudah didapatkan. Komunikasi sosial yang mampet dihadapkan pada realitas semu yang melahirkan kesenangan semu dari pemakaian narkoba.

Tiga konstruksi ruang dramatik itu merupakan simbolisasi dari berbagai realitas yang diwariskan Orde Baru, sebuah masa di mana grup Slank membangun karier musikalitasnya.

Dalam film ini dicantumkan juga setting 10 tahun reformasi. Gosip Jalanan yang sempat menuai kontroversi antara beberapa anggota legislatif pusat dengan Slank beberapa waktu yang lalu, diusung dalam film ini.

Dalam suasana Pemilihan Umum 2009, film Generasi Biru seperti menyodorkan cermin kepada penontonnya untuk berkaca, melihat masa depan Indonesia. Tentunya lirik Gosip Jalanan merupakan rangsangan yang baik dan kritis terhadap pemilih untuk menyaring sebaik-baiknya para calon legislatif.

Film Generasi Biru bertutur tentang keindonesiaan. Sutradara film ini mencoba memvisualisasikan Indonesia ke dalam bahasa media film. Banyak sekali simbol visual yang menyimpan makna. Di sini Indonesia berwujud absraksi-abstraksi yang bebas. Ada satu adegan di panggung, ketika Bimbim curhat dengan penontonnya, dengan syair lagu Indonesia Una. Apa yang dinyanyikan Bimbim menjadi wajah generasi biru yang tengah menghadapi perubahan demi perubahan.

Ada kesepian di sana, ada kegelisahan dan kerumitan, ketika pertanyaan-pertanyaan tentang sekolah, biaya rumah sakit, harga BBM, dan harga-harga bahan pokok yang tambah mahal, cinta lantas dipertanyakan. Visualisasi ini tampak jujur dan realistis. Film ini mencoba mengedepankan isu yang sedang hangat dan jadi pemberitaan di media massa, namun di sisi lain juga menyodorkan tari-tarian dan animasi yang simbolik.

Generasi Biru menyampaikan sebuah paradoks: menjadi manusia Indonesia berarti menjalani abstraksi-abstraksi dari usaha merealisasikan cita-cita yang ideal. Generasi ini hidup dalam wilayah utopia, tetapi pada saat yang sama, sebuah realitas, sebuah potret Indonesia kekinian, sebuah generasi yang bosan dengan berbagai kekotoran yang terjadi di muka wajah bangsa Indonesia: korupsi, money politics, kekerasan aparatur negara, praktik demokrasi yang menyimpang, hukum yang terbeli, dan tata kelola negara yang absurd.

Generasi Biru tentunya sedang berha- dapan dengan negara yang paradoks, dan bukankah mereka merupakan bagian dari sebuah paradoks itu sendiri? Jawaban yang diserahkan kepada sejarah.

* Ditulis oleh Daniel Rudi Haryanto, Mahasiswa Kajian Film Fakultas Institut Kesenian Jakarta.

Dipublikasikan oleh suarapembaruan.com

2 responses to ““Generasi Biru” yang Paradoks

  1. Ping-balik: beatheaven » Blog Archive » “Generasi Biru” yang Paradoks « Anthropology | Kerabat Antropologi …

  2. ulasan yang menarik sekali!
    saya juga sedang mencoba mengangkat Generasi Biru untuk jadi bahan skripsi saya. karena tertarik dengan keberanian film ini dalam mengangkat realitas politik negara kita.

    Slank memang dikenal apa adanya, slenge’an dan sederhana dalam mengapresiasikan apa yang mereka lihat lewat lagu2 mereka. Dan setau saya, film ini dibuat untuk merayakan 25th SLANK, dan saya rasa pasar film ini adalah para Slankers.

    Tapi, saya agak sulit menangkap makna2 (yang begitu banyak dan terkadang sulit dicerna) yang termuat di film tsb. sebenarnya ini film untuk Slankers atau untuk siapa?

Tinggalkan Balasan ke endah Batalkan balasan